Dieng Dalam Kitab Suci

Dataran Tinggi Dieng, secara samar pertama di kenal oleh Jawa. Migrasi itu berhubungan oleh mitos, pemindahan gunung atau kahyangan oleh para dewa, dan Gunung Meru di Jambudwipa (india) ke tanah Jawa. Sebagaimana yang tertuang dalam kitab-semi historis- Kitab Tantu Pagelaran yang merupakan sejenis buku petunjuk dan pertanyaan-pertanyaan di Tanah Jawa.



DIENG : Dari Sanghyang Sampai Ratu Sima

Dalam hal ini di ceritakan asal muta Bathara Guru (siwa) yang bermigrasi ke Gunung Dieng, untuk bertapa dan memohon kepada Dewa Brahma dan Dewa Wisnu supaya pulau jawa di beri penghuni. Dewa Brahma menciptakan kaum lelaki dan Dewa Wisnu menciptakan Kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru itu dan pada akhirnya para dewa memindahkan Gunung Meru (Gunung Himalaya- yang di percaya sebagai Gunung tertinggi yang menjadi "Lingga bagi dunia" Pingkalingganing Buwono) itu tertanam di pulau jawa, dan pulau jawa menjadi tempat kesayangan para dewata.
Artinya sejak pada saat itu Gunung Dieng menjadi Gunung di Sucikan atau di tasbihkan kesucianya oleh para dewa. Dalam hal ini oleh para brahmana dan oleh para penganut siwa.

Peristiwa itu memungkinkan terjadi pada tahun 16 M, yang sezaman dengan kehidupan Nabi Isa. Karena kepindahan Sanghyang Jadagadnata (siva) ke tanah Jawa itu, sebagaimana informasi dari kitab mistis Paramayoga karya Pujangga R.Ng.Ranggawarsita, berkaitan dengan konsep Kenabian Isa. Di kisahkan bahwa Nabi Isa berkenan untuk menyampaikan (mengabarkan / mendakwahkan) ajaran kepada orang-orang yang menyembah para berhala di kaki Gunung Tenguru (Himalaya), namun para dewa Sanghyang Jagadnata menyangkalnya, sehingga Nabi Isa mengirimkan mukjizatnya berupa se ekor burung dara yang mempunyai kesaktian luar bias- yang mampu mengobrak-abrik dan menghancurkan tempat para dewa di Gunung Tenguru, yang muaranya Sanghyang Jagadnata sampai terlempar ke pulau jawa- yang pada kemudian para dewa pindah ke muara yang terlempar di Pulau Jawa yang kemudian di bangunya lagi suwatu kahyangan yang di jadikan tempat suci untuk bersemayamnya para dewa.

Selain itu yang menarik, di kabarkan pula, meskipun Wisnu adalah salah satu Dewa, namun notabene iya telah (lepas ing budi atau telah mencapai kesempurnaan dan kesejatian ilmu) dan bertaqwa kepada Alloh.SWT serta mengakui kenabian Isa,sehingga iya selamat dari amukan dari burung dara mukjizat Nabi Isa.

Setelah peristiwa itu, Dieng kembali hilang dari percaturan sejarah, karena notabene setelah Nabi Isa mangkat, sesuai informasi Kitab Paramayoga, Sanghyang Jagadnata yang sudah menempati Pulau Jawa selama 15 tahun yakni pada tahun 33 Masehi, iya kembali ke India dan kembali membangun kahyangannya di puncak Tenguru. Di mungkinkan ketika Aji Saka ke Tanah Jawa pada tahun 78 M, dan menetap di bumi Medang Kamulan, dan kembalilah Sanghyang Jagadnata ke pulau jawa dan mnjadikan Gunung Dieng sebagai Pingkalingganing Buwono. Alasanya notabene Aji Saka secara generalogis masih keturunan Sanghyang Jagadnata sendiri, yang di sebut-sebut Lombard sebagai putra raja keturunan Brahmana.

Biarlah kembali membayang dalam kesadaran kognitif kita lewat kepercayaan orang-orang Dieng, sehubungan dengan mitos Telaga Balekambang, "Barang siapa melihat bale-bale" (balai) yang mengambang di tengah tlaga , akan mendapat keuntungan. Yang menurut cerita, bale-bale itu milik Ratu Sima yang karena kekalahan dari Raja Kanaha (Sanaha), memasukan harta bendanya kedalam tlaga tersebut.

Mitos ini mengingatkan pada kita akan beberapa hal, pertama, asal-usul wangsa Sanjaya Mataram. Sebagaimana cerita parahyangan yang menceritakan Kerajaan Pasundan, dimana nama Sanna dan Sanjaya di kenal disini.Sanna adalah anak Rahyangta Mandiminak, yang di kalahkan Purbasora dari Galuh, lalu menyingkir ke merapi(?) mengenai Gunung Merapi ini patut di pertanyakan. Apakah yang di maksud Gunung merapi itu adalah Gunung yang ada di sebelah kota yogyakarta sekarang, jika iya Yogyakarta ataupun Magelang, ataukah iya hanya esensi dari Gunung Merapi. Jika yang di maksud Gunung Merapi, maka merapi bukan hanya satu-satunya gunug. Bisa jadi yang di maksud adalah Pegunungan Dieng, yang juga merupakan Gunung Berapi. Hal ini berangkat dari asumsi apa yang ungkap dalam serat kandha ;

"Chandra Gupta Sidaphala, asal india barat, yang selisih faham di negerinya, lalu menjadi imigran ke jawadwipa. Iya menikahi putri dari Akuwu yang ada di bukit kaki Dieng. Namanya Mahatantri Narisya. Yang letak kratonya tidak jauh dari Percandian Dieng".

Kedua, pertanyaanya siapa sebenarnya Akuwu yang berada di kaki Dieng dan dari kerajaan apa yang menaungi jabatan atau gelar, serta sytem politiknya tersebut.? Apalagi Akuwu setingkat "kepala daerah perdikan (wilayah otonom) atau kepala desa". Mengingat pada saat itu, daerah sekitar Merapi (Jawa Tengah) masuk dalam wilayah Kerajaan Ho-Ling atau Kaling, dengan Ratu Sima sebagai rajanya. Maka bisa jadi gelar atau jabatan itu merupakan atau yang di naungi oleh kerajaan Ho-Ling atau Kaling. Dan pertempuran antara Sannaha (adik sanna) dan Ratu Sima, juga bisa jadi merupakan simbol pertempuran Sannaha melawan salah satu kerajaan Kaling, dengan Ratu Sima sebagai rajanya. Dan bisa jadi setelah pernikahan Candra Sida Guphatala (sanna) dengan anak Akuwu di kaki Dieng Mahatantri Narisya, wilayah Dieng membelot dan lagi mau tnduk pada sytem dan politik pada kerajaan Kaling, sehingga Ratu Sima mau mengirimkan pasukanya. Sementara di pihak Sannaha pasukanya di pimpin oleh Sanna sendiri.

Inilah yang dapat di perkirakan bahwa Dieng pada waktu itu telah memiliki dan memainkan konstelansi polititik yang signifikan. Meski kisah ini berasal dari sebuah mitos, Karena pada waktu itu belum tumbuhnya konsep tulis prasati. Akan tetapi mistos pada hakekatnya merupakan ingatan social historys. Iya merupakan ingatan sosial suwatu masyarakat yang memuat beribu pesan dan anutan nilai-nila. Dan ketika budaya tulis prasati (data historys yang bersifat ilmiah) belum tercipta, hanya mitoslah dapat mewariskanya dari generasi ke generasinya. Meskipun mempunyai resiko perubahan dan memiliki variasi banyak versi-versi. Meski begitu, kisah utama yang menjadi setting cerita mitos tidak pernah berubah.

Dieng Awal Abad 19M; Informasi Kitab Chentini 

Serat Chentini, muncul pada era Mataram Islam (Surakarta Awal). Merupakan serat utama oleh tiga pujangga keraton, di antaranya Yasadipura II, Rangga Sutrasna, dan R.Ng.Satradipura (H.A.Ilhar) yang di bantu beberapa carik (juru tulis) tersebut. Mulai di tulis kira-kira pada tahun 1815 M, atas prakarsa seseorang yang akan menjadi susuhunan (Pakubuwana V). Adapun yang menjadi setting serat ini adalah pengelanaan Syeh Amongrogo--(beserta keluarga, yakni, istri, kakak, adik, dan juga pembantunya. Nama Chentini yang menjadi kepala judul serat ini merupakan nama pembantu dari Syeh Amongrogo)__yang merupakan salah satu keturunan Sunan Giri. Yang karena di usir dari wilayahnya karena tidak mautunduk oleh sultang agung. Telah berkelana ke seluruh pelosok pulau jawa untuk menemui satu persatu pertapa dan orang bijak yang berada di gunung-gunung. Setiap pertemuan merupakan kesempatan untuk memperdebatkan bahasan pokok mengenai ilmu ke agamaan. Dapat di katakan bahwa karya tersebut merupakan ensiklopedia yang sebenarnya tentang javanisme. Serat Centhini yang di tulis di Solo pada awal abad ke-19 M, dapat di anggap sebagai ringkasan pengetahuan khusus dan gaib yang di miliki orang-orang di pegunungan dan hutan-hutan rimba.

Dieng "Dari Gerbang Apsu Dan Penciptaan Yang Abadi"

Kehadiran Dieng tidak bisa di lepaskan dari konteks dan pemaknaan akan namanya. Dieng yang berasal dari dua suku kata, "Di" dan "Hyang" dimana Di dimaknakan sebagai Ardhi,Redi,Wukir,Arga dan lain-lain yang di artikan sebagai Tempat Tinggi atau Gunung, yang puncak, yang ultimate, yang misterius, yang transenden, yang sempurna, yang adi kodrati, yang abstrak dan eksternal, dan lain-lain yang determinan dengan yang serba paling, superlative, dan meta di luar makna-makna yang nyata, natural, reality (yang tergelar atau di gelar), dll.

Di luar itu juga "Di" juga dianggap di luar dari konteks "Hadi", "Adi" juga di makanai sebagai "yang cantik", indah, molek, dan mempesona, dan mempesonakan, dan lain sebagainya yang determinan dengan nilaia estetik, yang serba wah dan yang bisa menggetar takjubkan pandang mempesona anak mata.

Dan "Hyang" adalah kata sandang yang biasanya di gunakan untuk kata yang gaib (nominousum) dewa-dewa atau yang di yakini sebagai Dewa, Ruh leluhur, Tuhan atau yang di yakinisebagai Tuhan, atau mahluk-mahluk lainya. Sementara "Hyang", di yakini sebagai tempat mahluk-mahluk ilahiyah lainya, yang kemudian di identifikasi sebagai "Kahyangan", Nirwana, atau surga. Yaitu dewa-dewi, Tuhan, atau mahluk ilahiyah pada umumnya.

Barangkali inilah alasan pertama mengapa Sang Hyang Jagadnata memilih Gunung Dieng, memilih dari tempat India Jambudwipa ke pulau Jawa. Di mana gunung tinggi yang menjadi Lingga Dunia (Pingkalingganing Buwono) tertanam di pulau Jawa dan pulau Jawa menjadi temapat kesayangan Dewata. Dan sejak itu sesungguhnya Gunung Dieng,"Menjadi Gunung yang di Sucikan". Dimungkinkan penamaan Gunung Dieng yang memiliki konteks pemaknaan yang telah di ungkap di muka, mengambil rujukan dari peristiwa sini. Sehingga nama Dieng, sudah di kenal dan di pakai sejak abad-abad awal masehi.

Wajarlah jika di kemudian hari wangsa-wangsa berikutnya, dari Medang Kamulan, Kaling, hingga Mataram Kuno menjadikan Dieng menjadi "Tempat Suci Yang Di Sucikan". Sehingga menurut hemat saya, Dieng menjadi tempat pertama dan utama bagi tonggak berdirinya bangunan suci di Tanah Jawa, yang mendapatkan afirmasi dari masyarakat pendukungnya di tempat ini. Itulah yang kemudian di catatnya di Kitab Tantupagelaran, yang merupakan sejenis buku yang mencatat tempat pertapaan-pertapaan Hindu di Tanah Jawa.

Dan agaknya dari Dieng pula, identifikasi kitab Vastusatra, kitab yang memuat aturan-aturan pendirian Bangunan Candi_ di Tanah Jawa menemukan praksisnya. Karena di banding dengan tempat-tempat lainya, Dieng memiliki identifikasi yang paling lengkap dan klop akan aturan dari kitab Vastusastra, khusunya a
yang ada dalam kitab Manasara. Di mana bangunan candi (temapat suci) sebaiknya di dirikan di tempat-tempat di gunakan dewa-dewa bercengkrama. Dimana tempat yang di gunakan untuk Dewa bercengkrama itulah dengan sendirinya menjadi tempat suci dan di sucikan (purivication). Disinalah konteks Dieng menjadi "Surga para Hyang" mendapatkan pengutuban yang ideal maupun praksis secara signifikan.

Dengan cara yang sama agaknya dengan demikian pula yang di lakukan Sang Hyang Jagadnata yang memindah kan Gunung Meru di India yang di yakini sebagai Pingkalingganing Buwono ke Gunung Dieng_ yang dahulu juga di yakini sebagai tempat berdirinya Gunung kosmik yang mungkin sama tingginya dengan Gunung Meru (Himalaya atau mount everest) yang ada di Hindia_ yang kemudian menjadi tempat suci yang kemudian dengan terus-menerus di identifikasi oleh generasi demi generasi dan wnagsa-wangsa berikutnya, hingga dewasa ini. Sehingga mengambil analog dari konteks pemaknaan Dieng. yang berarti Surga Parahyang (surga dewa-dewa). Menurut para sepiritualis, kerohanian, dan kebatinan, seperti keyakinan orang-orang Dieng yang dinisbatkan kepada Tumenggung Kolodete_ bagaimana hubunganya dengan Kyai Kolodete yang menjadi salah satu pusaka Kasultanan Mataram (?)_ yang berada di Gunung Pangonan, dengan mata air atau tlaga atau Gua Semurup sebagai pusatnya. Juga ajaran yang dinisbatkan kepada aliran Kaki Tunggol Sabdo Jati Doyo Among Rogo_  yang notabene di anggap sebagai sesepuh atau Lurahnya Nusantara yang sering di figurkan oleh tokoh semar, yang di anggapnya sebagai leluhur mistis, yang bergerak sebagai indentifikasi Raja Jayabaya, yang di mungkinkan juga dianggap sebagai Harihara  atau mungkin Heru Cakra dimana nama-nama ini sangat terkenal dan diyakini atau secara esoterik menjadi Figure of Identifikation dalam kaum sepiritualis jawa (kerohanian dan kebatinan)_ yang menunjuk adanya tempat-tempat suci yang ada di pegunungan Dieng. Yang di yakini sebagai tempat mistis para leluhur, yang kemudian tempat yang di anggapnya mistis itu di namakan Pertapan Mandolo Sari, yang di tetapkan pada hari Kamis Pahing, malam Jum'at Pon yang bertepatan 1 Syura pada tahun 1934 Saka. Atau tanggal 7 april tahun 2000.

Para Leluhur yang di percaya berada dan berada di Area Pertapan Mandalasari yaitu : 1.) Begawan Samporna Jati,yang berada di Goa Semar 2.) Nini Dewi Kumalasari,yang berada di Goa Sumur 3.) Begawan Kendali Seto,berada di Goa Jaran 4.) Begawan Cakra Kusuma,berada di Siti Hinggil 5.) Begawan Jati Kusuma,di Siti Hinggil 6.) Nini Dewi Retno Roso Wulan,berada di Sendang Maerokoco 7.) Pangeran Permono Jati,berada di Candi Arjuna 8.) Ki Lurah Renggo Buwono,di Candi Semar dan 9.) Resi Kumoro Seto,yang berada di Candi Bima.

Yang agak menarik dan perlu di klarifikasi lebih lanjut, berdasarkan hasil foto udara dari para ahli astronomi, bahwa menemukansebuah pancaran cahaya misterius yang sampai sekarang belum bisa terpecahkan secara rasional, apa sesungguhnya pancaran cahaya tersebut. Adanya cahaya misterius inilah yang menjadikan salah satu Gunung Dieng sebagai pusat (menurut identifikasi Gunung Kosmik yang pernah ada di sana) atau sebagi Pintu Gerbang yang menghubungakn antara bumi,surga dan neraka. Hal senada juga sebagaimana Meru yang di ketemukan diatasnya bintang utara memancar.